Pengajaran Tuhan seringkali tidak dapat kita mengerti: ada yang doa minta ditolong gak datang-datang pertolongannya, ada yang minta jodoh belum nongol juga, ada yang minta rumah, minta kekayaan, pekerjaan dan sebagainya. Dalam semua jalan-jalan kita, Tuhan mengerti setiap tahapan seseorang apa dan bagaimana yang harus kita lalui. Apakah harus tetap menanti, apakah dalam penantian itu dibutuhkan pertumbuhan kesabaran, apakah dibutuhkan pengertian dan kedewasaan dalam melewatinya – Tuhan yang maha tahu, dan kita harus belajar untuk percaya, mempercayai-Nya.

Di bawah ini saya mengangkat kisah kematian anak-anak imam Harun – Nadab dan Abihu yang melakukan hal yang TIDAK disuruh Tuhan. Mari kita baca secuil kisahnya dan dampak mengejutkan serta peraturan-peraturan sesudahnya untuk mengetahui “pikiran Tuhan” dalam hal semacam ini.

Imamat 10:1-7Kemudian anak-anak Harun, Nadab dan Abihu, masing-masing mengambil perbaraannya, membubuh api ke dalamnya serta menaruh ukupan di atas api itu. Dengan demikian mereka mempersembahkan ke hadapan TUHAN api yang asing yang tidak diperintahkan-Nya kepada mereka.
Maka keluarlah api dari hadapan TUHAN, lalu menghanguskan keduanya, sehingga mati di hadapan TUHAN.
Berkatalah Musa kepada Harun: “Inilah yang difirmankan TUHAN: Kepada orang yang karib kepada-Ku Kunyatakan kekudusan-Ku, dan di muka seluruh bangsa itu akan Kuperlihatkan kemuliaan-Ku.” Dan Harun berdiam diri.
Kemudian Musa memanggil Misael dan Elsafan, anak-anak Uziel, paman Harun, lalu berkatalah ia kepada mereka: “Datang ke mari, angkatlah saudara-saudaramu ini dari depan tempat kudus ke luar perkemahan.”
Mereka datang, dan mengangkat mayat keduanya, masih berpakaian kemeja, ke luar perkemahan, seperti yang dikatakan Musa.
Kemudian berkatalah Musa kepada Harun dan kepada Eleazar dan Itamar, anak-anak Harun: “Janganlah kamu berkabung dan janganlah kamu berdukacita, supaya jangan kamu mati dan jangan TUHAN memurkai segenap umat ini, tetapi saudara-saudaramu, yaitu seluruh bangsa Israel, merekalah yang harus menangis karena api yang dinyalakan TUHAN itu.
Janganlah kamu pergi dari depan pintu Kemah Pertemuan, supaya jangan kamu mati, karena minyak urapan TUHAN ada di atasmu.” Mereka melakukan sesuai dengan perkataan Musa.

  1. Saat Tuhan tidak menyuruh, sebaiknya kita tidak bertindak.
    Namun demikian, hal ini seringkali dilakukan berlawanan karena berbagai hal:
    -Menginginkan posisi, jabatan
    -Memaksakan kehendak
    -Ingin dilihat/dipandang orang/ingin dipuji
    -Krisis identitas
    -Sombong, meninggikan diri
    -Semena-mena, seenaknya, tidak suka mengikuti peraturan, tidak tunduk kepada otoritas
    -Minta-minta pelayanan, minta khotbah dengan cara-cara memalukan, menyodorkan diri, minta dijadwal, pesan bahwa dia akan datang hari sabtu-minggu supaya diketahui dan diberi jadwal khotbah.
    -Minta didoakan/sharing dengan menyodorkan “kebutuhan-kebutuhannya” dan cara-cara manipulasi lainnya.

Hal-hal seperti inilah yang akhirnya menyandung kita sendiri untuk melakukan kesalahan dan hal yang tidak seharusnya dilakukan. Hal ini banyak terjadi di gereja, dalam kaitannya dengan jabatan atau pelayanan di gereja, orang berebut, ingin naik mimbar, ingin dihargai, ingin kelihatan, berebut pelayanan dan kedudukan. Mereka mempersembahkan “api asing” yang tidak disuruh Tuhan. Tidak ada urapan di sana, tidak ada api kudus di sana, adanya adalah susupan ‘urapan’ iblis. Jika tidak ada ‘sambaran’ dari Tuhan seperti jaman dulu (karena ini adalah jaman anugerah), sebaiknya kita berdiam diri dan menantikan Tuhan.

  1. “Inilah yang difirmankan TUHAN: Kepada orang yang karib kepada-Ku Kunyatakan kekudusan-Ku, dan di muka seluruh bangsa itu akan Kuperlihatkan kemuliaan-Ku.” Dan Harun berdiam diri.
    Tuhan menyatakan Diri dalam kekudusan kepada mereka yang karib dengan-Nya. Musa adalah contoh terbesar yang disebut sebagai rekan-sahabat-kepercayaan Tuhan, sehingga Dia karib dengannya, tanpa halangan berbicara, tidak melalui mimpi atau bahasa yang tidak mudah dimengerti. Kepadanya Tuhan menunjukkan kekudusan-Nya. Di ayat lain dalam Mazmur 103 juga dikatakan bahwa Tuhan menyatakan rencana-Nya kepada Musa, tetapi kepada Israel jalan-jalan-Nya. Artinya hanya kepada orang yang karib dengan-Nya, Ia berdiskusi, tetapi kepada yang lain hanya kemuliaan-Nya, hasil dari rencana yang mereka di tempat tersembunyi diskusikan.

Ini juga terjadi di instansi-instansi, anak buah hanya tahu hasil akhir dan pelaksanaannya saja, sementara para executives merencanakan dengan atasan. Hanya mereka yang dapat dipercaya dan mencapai suatu level-level tertentulah yang duduk dan memberikan pandangannya bersama. Musa sedemikian dipercayanya sehingga Tuhan memperlihatkan kekudusan-Nya. Tuhan juga mendengarkan Musa.

  1. “Kemudian berkatalah Musa kepada Harun dan kepada Eleazar dan Itamar, anak-anak Harun: “Janganlah kamu berkabung dan janganlah kamu berdukacita, supaya jangan kamu mati dan jangan TUHAN memurkai segenap umat ini, tetapi saudara-saudaramu, yaitu seluruh bangsa Israel, merekalah yang harus menangis karena api yang dinyalakan TUHAN itu.”

Kita cenderung mengasihani diri dan menyalahkan Tuhan dalam hal-hal yang menyangkut kesalahan dan akibat yang harus ditanggung. Tetapi dari ayat ini saya belajar bahwa saat ada kejadian mengagetkan, hendaknya kita berdiam diri seperti Harun; kemudian tidak menangis – karena tangisan itu sering menandakan self-pity. Saya sering konseling orang dan kebanyakan mereka tumpah air mata, dan hampir semuanya adalah airmata cinta diri, egoisme, penyalahan kepada orang lain, pembelaan diri, tidak mau disalahkan, tidak mau menanggung, dan semacamnya. Jarang saya melihat airmata belas kasih untuk orang lain atau terimakasih kepada Tuhan karena ‘masalah’ yang menimpa dirinya lewat orang ‘itu.’

Ini kematian dua anak, dan Tuhan berkata “janganlah kamu berkabung atau berdukacita (atau menangis, sebab yang boleh menangis hanyalah rakyat).” Semakin mempelajari pikiran Tuhan, semakin kita belajar mengerti bahwa jika Tuhan menghajar, itu untuk mendewasakan kita – orang dewasa tidak sepantasnya menangisi diri sendiri, tetapi belajar, berdiam, mencermati, bertanya, tidak gegabah, tidak menyalahkan orang lain. Karena kebodohan orang yang masih kekanak-kanakan adalah menuduh orang lain, tidak belajar rendah hati dan meneliti/bertanya mengenai kesalahan yang diperbuatnya yang tidak disadarinya.

Saya seringkali berkata kepada mereka-mereka yang menghadap saya untuk meminta pertolongan, dan jika saya tahu mereka sudah makin dewasa, maka saya tahan air mata mereka. Jika saya lihat masih kanak-kanak dalam pemikiran, saya biarkan airmatanya. Tetapi mereka yang dewasa, saya mengajarkan untuk mengerti orang lain, memikirkan kepentingan orang lain, selfless. Beberapa kali juga saya ‘menolak’ waktu diminta doa, sebab ada banyak hal doa bukanlah “jawaban” untuk orang-orang tertentu, tapi yang dibutuhkan mereka hanyalah action dan konsistensi, harus bekerja lebih giat, harus tidak menunda, harus merendahkan hati, meminta maaf, mendahului dalam tindakan, dsbsbnya.

Tidak hanya itu saja, tetapi selanjutnya Tuhan memberi peringatan khusus: “supaya jangan kamu mati dan jangan TUHAN memurkai segenap umat ini.” Ini bukan intimidasi, bukan peringatan untuk orang umum atau kanak-kanak, ini adalah untuk pemimpin – keputusannya (yang salah dan gegabah dan emosional) akan melukai seluruh umat! Ah, betapa telah belajarnya saya melewati tahun-tahun pendewasaan Tuhan dan proses penguatan iman, saya banyak berdiam diri, membenahi diri, melihat ke dalam dan bukan ke luar, berhati-hati dan menjaga respon saya; sementara itu masih berperang mengenyahkan roh-roh yang berusaha merasuk seperti self-pity, mencari kesalahan pihak ‘lawan,’ bergelut menyingkirkan entertain negative things spirit, dsb. Setiap hari adalah peperangan, bukan melawan darah dan daging tetapi tipu daya di jahat dan egoisme, daging, manusia lama.

Untuk tidak menangis dan berduka, bagi seorang pemimpin ini melibatkan seluruh umat yang dipercayakan kepadanya, dan dirinya sendiri. Dengan bersungut, menangis, menyalahkan, berduka, Tuhan berkata KAMU AKAN MATI! dan seluruh umat akan dimurkai. Oh, no… it’s like too much ya… beban yang ditanggung seorang pemimpin. Makin tinggi kepercayaan, makin riskan posisi kita di hadapan Tuhan. Itu sebabnya marilah kita terus berjaga, waspada, taat, percaya kepada pengaturan Tuhan – baik itu dalam pekerjaan, dengan pimpinan, dengan orang tua, dengan pasangan, dan otoritas-otoritas yang Tuhan tempatkan dalam hidup kita.

  1. “Janganlah kamu pergi dari depan pintu Kemah Pertemuan, supaya jangan kamu mati, karena minyak urapan TUHAN ada di atasmu.” Mereka melakukan sesuai dengan perkataan Musa.”

Saya tidak menyangka bahwa kenapa seringkali dalam menangani kasus-kasus murids saya berpikir agar mereka tidak begini dan begitu… jawabannya adalah di pikiran Tuhan #4 ini – walaupun saya masih belum mengerti apa sesungguhnya arti ‘jika minyak urapan Tuhan ada di atas kita’ maka kita tidak boleh pergi dari depan kemah pertemuan.

Bagi saya begini, dalam banyaknya kasus, jika kita sakit hati dan tidak terima dengan perlakuan seseorang/atasan/pasangan/rekan sekerja, kita suka menghindar – ada yang mengambil jalan keluar dari tempat kerja atau keluar dari gereja, dari tempat pelayanan, pulang ke rumah. Lalu kalau antar pasangan, maunya bercerai, atau gak mau disentuh, males diajak bicara, pergi, menghindar, dan semacamnya. Impulsive, pengambilan keputusan yang mendadak, terlalu cepat di saat emosi sangatlah membahayakan. Yang demikian akhirnya menimba kefatalan, kekecewaan di kemudian hari, pengambilan urapan Tuhan, dan pembukaan pintu bagi roh jahat.

Saya melihat banyak orang yang pergi ‘dari pintu kemah’ saat kejadian yang menurut mereka menyakitkan dan tidak dapat ditahan. Mereka pergi ‘saat urapan ada di kepala mereka.’ Sekali lagi, saya masih belum mengerti artinya, tetapi melarikan diri, menghindari, tidak pamit, ‘keluar dari kemah’ dengan membawa ‘urapan’ adalah MEMATIKAN. Saya berpikir jika Tuhan menghujamkan kata “mati” saya tidak akan berani meremehkan – itu bisa mati seakar-akarnya, dengan kata lain tidak akan menghasilkan hidup dimana pun dia berada. Saya juga tidak dapat membayangkan bagaimana jika Yusuf melarikan diri dari ‘pintu kemah dengan membawa urapan’ (mungkin penetapan penempatan oleh Tuhan/atas kehendak Tuhan masuk dalam ‘kemah’ tersebut).

Saya yakin sedikit bahkan sangat langka orang yang mengenali prinsip ke’HIDUP’an tersebut; bahkan banyak pendeta dan pemimpin ‘mati’ saat dihadapkan dengan tantangan serupa ini karena mereka melarikan diri dari ‘kemah pertemuan.’ Oh, Lord,… have mercy on us.

Kita belajar baik-baik dari Harun yang berdiam diri dan menurut kata-kata Musa, sekalipun kasus ini sangatlah menyakitkan hatinya – siapa tidak mau menangis, berduka dan menyalahkan Tuhan jika anak-anaknya disambar api Tuhan? Kalau mau membeberkan ALASAN, pastilah keluarga Harun bisa mengajukan segudang, seperti para pemberontak-pemberontak yang ada di tengah mereka; apalagi Harun ini khan masih baru dalam menjabat imam, jadi pastilah kekeliruan ada dan butuh toleransi. Pertanyaan dalam benak Harun mungkin bergelindingan such as: kenapa harus keluar dari Mesir? Kenapa harus ada tata tertib baru, kenapa gak orang lain aja yang diangkat jadi imam, kalo begitu kuserahkan saja jabatan ini kepada Musa atau orang lain — tetapi thank be to Aaron and God, hal ini tidak terjadi. Imam Harun sangat dewasa, tidak self-pity, tidak menyalahkan Musa dan Tuhan. IA BERDIAM DIRI. Dalam hal ini pun Harun mendapatkan reward kekal di Sorga. Anak-anak yang hangus itu urusan Tuhan, Dia sanggup menyelamatkan mereka dan dipersiapkan untuk pertemuan indah dalam kekekalan, tetapi semasa Harun hidup, dia dapat memberikan teladan bagi kita semua. Sebab hanya saat kita hiduplah kita dapat menoreh sejarah – apakah sejarah yang melukai poin kekal kita ataukah memberkati orang lain dan memberkati hidup kekal kita? Ini pilihan yang tidak mudah, itu sebabnya selagi kita HIDUP, kita harus mencermati setiap kejadian, masalah yang datang, khususnya masalah yang sulit, berat, menyakitkan – ini ada tantangannya dan ada rewardnya.

Kehidupan kita dapat menjadi teladan plus pengumpulan eternal point reward. Kerendahan hati kita, ke’diam’an kita, ketidak-pemberontakan kita, kepercayaan kita terhadap jalan-jalan dan pimpinan Tuhan dapat menjadi monument keteladanan kekal bagi orang-orang yang melihat kita. Kiranya teladan BERDIAM DIRI ALA HARUN dapat menginspirasi perjalanan iman kita yang makin menanjak!