Seseorang yang saya percaya saya minta untuk memeriksa buku saya karena dia menyatakan diri sebagai “analyst.” True enough, kalau dia menganalisis saya beberapa kali tanpa sengaja dalam perbincangan, saya dapati dia sangat jenius, sayangnya dia sendiri tidak dianalisisnya. Jika orang menganalisis dia, dia selalu tidak terima. Dia pikir dia sudah ini dan itu, tapi waktu dia menganalisis saya yang tidak sebegitu-bukunya dibanding dia, dia menyatakan bahwa saya sudah lebih advanced! I was so surprised.

Nah, ini kali saya memintanya untuk melakukan analisis yang lebih “berresiko bagi saya,” karena selain dia bukan teologian, dia umurnya di bawah saya dan tidak berkecimpung di dunia pelayanan mimbar. Tetapi I gave a try lah. Dan saya agak kejedug-jedug karena dia benar-benar “pintar dalam menganalisis buku saya dan mendapati kekurangan sana-sini.” Berhari-hari saya “mempertanyakan dan bertanya-tanya” terhadap koreksiannya yang menyakitkan saya itu. Saya syering dengan confidant saya lainnya, yang akhirnya menegur saya bahwa tidak layaklah orang itu jadi “penasihat” kamu, sebab dia tidak mengerti sejauh mana kamu bla and blah…. Saya merasa sedikit terguyur. Tapi, saya masih tidak puas, tetap saja saya mengubah tulisan buku saya yang dikritik si analyst dengan tajam, dan saya merendahkan diri untuk mengikuti saran analyst saya itu — dengan tertatih-tatih (Ini terjadi sudah beberapa tahun yang lalu, waktu saya hendak menerbitkan buku True Colors).

Lama kelamaan, saya menyadari bahwa memang dialah yang benar dan sayalah yang salah. Confidant dan sahabat saya saking baiknya tidak tega diperlakukan oleh anak muda yang semena-mena mengkritik saya, betapa baiknya dia, I appreciate. Tapi rupanya saya butuh kritikan pedas untuk memperbaiki diri saya dan kesombongan saya.

Tahun demi tahun, ada muncul lagi beberapa kritikan, baik lewat email maupun di depan saya, di belakang saya, di kelas-kelas, dalam training. Baik dalam paket kritikan, maupun panah, pedang, belati, maupun bom,… saya tetap ingat yang awal satu itu dulu dan berusaha untuk menerima semuanya dengan kapasitas penguasaan diri yang belum sempurna. Saya masih merasa tertusuk walaupun tidak meronta – sakit di dalam, bleeding gitulah. Tapi semuanya saya terima, saya filing (file-kan) untuk dipelajari lebih lanjut. karena hal-hal seperti itu mau tidak mau “mengganggu” atau tepatnya membuat jiwa saya terjaga sebelum saya mendapatkan jawaban yang pasti dari pertanyaan yang masih ngganjel di hati. Saya tidak bisa mengabaikan, jiwa saya mencari, dalam pencaharian.

Lalu saya ingat pepatah yang saya baca dari tulisan seseorang bahwa jika kamu sakit saat ditegur, berarti memang ada masalah di kamu. Dan jika ketemu masalah, jangan berhenti sampai menemukan jawabannya, jalan keluarnya. Nah, itu dia saya senang sekali. Saya tidak berhenti, saya berdoa dan jawaban mulai dibukakan satu persatu kepada saya. Ini rahasia besar bagaimana saya “menemukan” diri saya sendiri dan apa yang ada di kedalaman hati saya. I’m forever thankful to Holy Spirit for the revelation.

Sebelum saya membuka tabir dari revelation itu, ijinkan saya membuat analogi dengan bahasa sederhana saya: Jika kaki Anda tidak borokan, maka disiram air garam Anda tidak akan merasakan apapun, tapi jika ada borok, maka Anda akan Auchy. Seberapa reaksinya, sebegitulah ukuran penyakitnya! Waktu saya dikritik dan meronta, maka saya ketahuan borokan. Saya harus mencari obatnya, tapi sebelum mencari obat, saya harus menyadari bahwa saya borokan! Tapi jika saya menyangkal bahwa saya borokan, selain tidak mencari obatnya, kemana-mana jika saya kesiram garam saya akan terus berreaksi.

Beberapa kali dalam kemudaan saya, Tuhan membawa analyst sekaligus kritikus yang berani menolong saya untuk membongkar borok-borok saya, dan saya forever grateful untuk mereka. Walaupun melibatkan rasa sungkan dan kuatir dari mereka karena saya belumlah sedewasa sekarang yang welcome dan malah meminta orang-orang tertentu dari waktu ke waktu untuk merapikan dan memperindah manusia roh saya. Ada yang mudah bagi saya untuk cepat menyadari kesalahan saya, tapi ada yang sulit dan lama karena “doktrin” kepercayaan saya sudah lama sekali ditanam baik dari kepercayaan, pengajaran, maupun tradisi. Tetapi saat saya rela utuk rendah hati dan mengakui saja bahwa sayalah pihak yang sakit, maka saya mudah disembuhkan. Tetapi untuk sampai kepada titik pengakuan/deklarasi itu membutuhkan peremukan, pengosongan diri dan pemikulan salib. By grace, kebanyakan porsinya saya rela dan makin tambah lagi kerelaan saya karena kebaikan yang Tuhan tunjukkan kepada saya.

Saat diajak duduk-duduk ngobrol nyantai sama Tuhan, saya dibukakan lagi. Dia tidak menghunjami saya, Dia lembut Dia tidak nuding, tapi Dia menyentuh hati, Dia menyadarkan. Ini tergantung sayanya, mau tidak dibongkar ulang melewati kesakitan dan keburukan (tau khan rumah yang sedang direnovasi bentuknya keq apa!)

Jika menyangkut EMOSI, seringkali didapati kitalah yang borokan. Kita tahu bahwa ada yang namanya “kemarahan Ilahi” yang bisa dibedakan keluar dari kebaikan hati dan kedewasaan, tapi kebanyakan emosi keluar dari daging dan selalu tumpukan kesalahan masa lalu. Tergantung Saudara, suka menerima kritik dengan hati terbuka atau panas dan membenci orang yang Tuhan kirimkan itu, seolah dia musuh Saudara.

Saya memperhatikan beberapa orang tua bahwa makin tua mereka makin sulit menerima masukan, selalu mereka berpendirian “teguh” dan merasa sudah paling benar dan berpengalaman sedunia. Tidak menyadari bahwa ada perkembangan-perkembangan baru yang muncul yang mengalahkan ilmunya yang sudah kadaluwarsa. Itu baik untuk saat dulu, tetapi sekarang anak muda membawa atau Tuhan pakai dengan banyak pembaharuan. Walaupun tidak disangkal bahwa hikmat lama juga berlaku untuk saat-saat tertentu, tetapi jika kita tidak mau belajar rendah hati dari saat muda, maka makin tua makin sulit.

 

“Kalo aku ini orangnya gini, terserah aku!”

“Aku sih gak bisa, gak biasa!”

“Gak mau, gak enak, gak suka, jijik, ngeri, yak,…”

“Harusnya kamu gini, sama kayak aku!”

“Aku dari dulu caranya gini, aku suka yang begini aja.”

“Kalo gak suka ya gak usah ke sini!”

“Kamu gak boleh makan ini, itu…”

 

Banyak pandangan masa lampau yang akhirnya menjadi apa yang Alkitab sebut sebagai “KUBU-KUBU” yang menghalangi kebenaran dan pergerakan Roh Kudus untuk masuk dan menyempurnakan manusia roh kita. Yang perlu disadari adalah:

 

  • Jika makin tua kita makin banyak ngomong, watch out.
  • Jika makin tua makin paling menguasai perbincangan, watch out.
  • Jika makin tua makin antik dan aneh dalam berbicara dan mengemukakan pendapat selalu merasa menang dan paling benar, watch out.
  • Jika makin tua gak mau belajar, watch out.
  • Jika makin tua makin gak sabaran, watch out.

 

Apakah Anda makin tua dan makin kurang menyenangkan? Apakah Anda cerewet dan suka bicara? Apakah Anda suka menyela orang berbicara? Apakah Anda pernah survey pendapat orang lain mengenai diri Anda? Apakah Anda tidak suka dikritik?

Cobalah memperbaharui kualitas hidup Anda. Jangan mempercayai cara usang, beberapa ‘kepercayaan’ usang yang sudah membuat sebal orang lain. Mintalah pendapat orang lain. Dengarkan mereka. Cobalah diam saat ada orang lain berbicara. Mereka ternyata benar dan Anda akan dapati bahwa Anda salah dan perlu rendah hati untuk membukanya. Nyatanya Tuhan membawa orang-orang yang Ia ijinkan untuk menolong memperbaiki karakter dan cara-cara lama Anda yang sudah nampak irrelevant.

 

Be gentle, “bee” sweet like honey; be like Christ.

 

Roma 12:2
Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Amsal 1:5
baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan –

Amsal 12:15
Jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri, tetapi siapa mendengarkan nasihat, ia bijak.

Amsal 13:10
Keangkuhan hanya menimbulkan pertengkaran, tetapi mereka yang mendengarkan nasihat mempunyai hikmat.

Amsal 18:13
Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya.

Amsal 17:27
Orang yang berpengetahuan menahan perkataannya, orang yang berpengertian berkepala dingin.

Amsal 10:14
Orang bijak menyimpan pengetahuan, tetapi mulut orang bodoh adalah kebinasaan yang mengancam.