Hakim-hakim 8:1-3
Lalu berkatalah orang-orang Efraim kepada Gideon: “Apa macam perbuatanmu ini terhadap kami! Mengapa engkau tidak memanggil kami, ketika engkau pergi berperang melawan orang Midian?” Lalu mereka menyesali dia dengan sangat.
Jawabnya kepada mereka: “Apa perbuatanku dalam hal ini, jika dibandingkan dengan kamu? Bukankah pemetikan susulan oleh suku Efraim lebih baik hasilnya dari panen buah anggur kaum Abiezer?
Allah telah menyerahkan kedua raja Midian itu, yakni Oreb dan Zeeb, ke dalam tanganmu; apa yang telah dapat kucapai, jika dibandingkan dengan kamu?” Setelah ia berkata demikian, maka redalah marah mereka terhadap dia.

Suku Efraim hanya diminta untuk membantu saat bangsa Midian sudah lari kalang kabut karena hentakan Gideon dengan (hanya) 300 tentara pilihan Tuhan. Tetapi justru orang Efraim dapat membunuh 2 raja Midian, walaupun Gideon dan tentaranya dan suku Israel lainnya lebih banyak membunuh orang-orang Midian.

Dari ayat-ayat tersebut kita tahu betapa marahnya suku Efraim itu karena tidak dilibatkan berperang sejak awal. Tetapi mari kita belajar jawaban yang meredakan emosi dari sang pahlawan pilihan Tuhan tersebut. “Apa perbuatanku dalam hal ini, jika dibandingkan dengan kamu?” Gideon memberikan kredit bagi suku Efraim lebih dari usaha dirinya sendiri. Ini adalah tindakan appreciation, kesabaran, kemurahan hati memberikan penghormatan kepada yang lain, rendah hati dan tidak sombong, sangat berjiwa besar dan patut dipuji. Sehingga jawaban ini meredakan kemarahan suku Efraim yang merasa “direndahkan” atau amatir/inferior karena merasa tidak dilibatkan/dipilih dalam berperang.

Jawaban seperti ini tidaklah mudah sebab kecenderungan manusia jika ditantang dengan kekasaran akan ‘NAIK’ emosinya duluan. Selain itu kecenderungan kita akan mengambil nama demi kepentingan ‘EGO’ diri, sehingga sulit untuk memberikan kredit kepada orang lain yang hanya nimbrung sedikit upaya di akhir peristiwa, yang memang sudah hampir selesai kerjanya.

Amsal 15:1
Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.

Amsal 25:11
Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak.

Sedangkan orang-orang yang emosinya meledak-ledak dan tidak dapat menahan hatinya, ia akan terjerat dengan berbagai kesulitan. Ia akan dijauhi orang, ia tidak mudah memposisikan diri dan tidak akan dihargai dimana-mana. Sebab orang yang emosional sangatlah berbahaya dan tidak stabil, ia tidak dapat diandalkan dalam segala keadaan yang memerlukan perhitungan jeli.

Seorang hamba Tuhan baru saja bercerita kepada saya bahwa saat ia sedang menaikkan barang di airport, mobil di belakangnya mengklakson berulang kali. Lalu dia bilang, “Sabar bos…” Tetapi orang itu tidak terima dan ngajak berantem. Saat mobil itu bisa lewat, rupanya dia menanti di ujung terminal. Jadi HT tersebut turun, dan saat mereka berhadapan, orang yang emosi itu mengeluarkan samurai dari mobilnya dan mencoba menusuk HT tersebut. Saat dia hendak memarang kedua kalinya, pisau pada samurainya itu lepas dan terbang. Kami semua tahu bahwa itu adalah perlindungan malaikat Tuhan, dan si emosional itu hanya pegang gagangnya. Sementara itu massa sudah berkerumun dan mengeroyok emosional itu dan memukuli mukanya sampai bibirnya robek dan berdarah. Mereka berdua dibawa ke polsek dan si emosional berakhir di-sel sampai HT tersebut mencabut gugatannya seminggu kemudian karena banyak keluarga si emosional itu datang dan menuntut atas nama kasih agar pendeta memberi pengampunan.

Si emosional kena batunya! Sekota itu tahu bahwa dia orang yang tidak bisa diajak bicara, selalu saja emosi, dan sudah menamengi dirinya dengan senjata tajam dan mungkin pistol, dsb. Ternyata dia adalah seorang bos, orang mampu, punya perusahaan ini dan itu, tetapi dia memang harus belajar lewat suatu peristiwa untuk meredakan emosinya, untuk rendah hati, untuk mengekang diri. Jikalau dia tidak mendekam di bui selama 1 minggu, mungkin dia akan terus mengumbar nafsu marahnya dimana-mana dan akan lebih bahaya lagi jika tidak berhadapan dengan pendeta yang mencabut gugatannya, karena orang itu benar-benar terbukti bersalah. Rupanya dari saksi-saksi yang dimintai keterangan di pengadilan, memang di depan mobil-mobil itu ada motor, sehingga mobil HT ini juga tidak dapat bergerak selain menunggu motor itu menyingkir. Yang lucu lagi, pendetanya si emosional itu (ehh…ternyata si emosional itu juga orang Kristen!) datang naik motor minta agar teman saya berbelas kasih dan mencabut gugatan. Berhari-hari ada saja yang disuruh untuk mendatangi rumah rekan saya, sampai polisi pun disogok untuk itu. Teman saya menanti sampai semuanya reda dan orang itu sadar, sebab jika dilepas, sama saja dia bisa mata gelap, buta hati, berurusan lagi di luaran sana dengan mengancam dan melakukan banyak atraksi jahat terhadap keluarga hamba Tuhan tersebut.

Kata-kata yang timbul dari emosi sangatlah membahayakan dan dengan mudah memancing pertikaian. Tetapi Gideon orang yang pandai memilih kata-katanya untuk meredakan emosi suku Efraim. Justru dia memberikan penghargaan tinggi bahwa pemetikan susulan “LEBIH BAIK” daripada panen awal. Perkataannya BERHIKMAT dan mendatangkan anugerah bagi yang mendengarnya.

*Bagaimana kita belajar agar tidak terpancing emosi?
-Belajarlah untuk berdiam diri, belajarlah untuk mengekang dan tidak membalas ucapan/tulisan saat itu juga. Pikirkan dengan baik jawaban yang meredakan hati.
**Bagaimana kita meredakan amarah orang?
-Pilihlah kata-kata kebaikan yang dilakukan orang itu, tetapi jangan bias atau sanjungan semu yang justru akan merusak kepercayaan orang.
-Hindari sindiran (Contoh: “wah, misalnya kamu datang lebih awal pastilah raja-raja lain bisa kamu tangkap lebih banyak lagi”; atau “dari dulu gak mau berperang sendiri, sekarang aku udah cape-cape mimpin perang dan udah menang kamu malah marahin aku….”)
-Tahanlah untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang menguntungkan diri sendiri dan memegahkan diri.

Apakah ada ide lain yang bisa dipelajari untuk kita bersama? Please send your comments below.