Betapa pentingnya mengenal wakil kekuasaan, sampai saya ingin seluruh pembaca setia NGEH sampai seakar-akarnya dan kandas sedalam-dalamnya sehingga tidak ada lagi sisa mempertanyakan dan memperbincangkan wakil kekuasaan yang adalah dari Tuhan penempatannya. Kepentingannya adalah bukan untuk orang itu, tetapi bagi Saudara sendiri yang tunduk dan hidup di bawah wakil kekuasaan yang Tuhan taruh. Berkat dan kutuk diperhadapkan kepada Saudara, dan pilihlah hidup diberkati, saat menjalani batas-batas ketetapan Tuhan.

Saya memiliki beberapa orang tua angkat – atau tepatnya Tuhan memberikan kepada saya orang tua-orang tua angkat di berbagai tempat. Tidak banyak, tetapi ada 6, yang satu telah bersama Bapa – yang nama-nama mereka saya doakan setiap hari, dengan orang tua saya sendiri, semuanya 7 pasang. Salah satu dari mereka, yang adalah juga hamba Tuhan (hampir semuanya adalah hamba Tuhan, ada yang majelis), pada suatu waktu dirundung masalah. Hidup mereka digoncang dan orang-orang meninggalkannya – habis. Dari jemaat mereka ada salah satu yang menjadi sahabat saya yang dengannya beberapa waktu dan tahun saya berjalan bersama dengan erat. Sahabat saya ini orang dekat/orang ‘dalam’ dari pelayanan orang tua angkat saya yang sedang dirundung masalah. Karena dia orang dalam, dia merasa tahu apa yang terjadi dengan urusan dalam.

Untuk memberikan penekanan penting, saya sengaja menurunkan bahasan ini di paragraf baru: Apa yang ‘orang dalam’ merasa tahu, sebenarnya hanyalah sepenggal pengetahuan saja. Itu sebabnya menceritakan atau mengulang cerita sepenggal dan menyebarkannya, berarti GOSIP DAN MENGHAKIMI. Itu fitnah keji. Saya dan sahabat saya ini sering berjalan, dan dia mulai menceritakan apa yang dia ‘pikir’ tahu kisah keseluruhannya. Gosipnya sangat “syur” jika diterima oleh telinga dan otak yang tipis. Tapi setiap kali sahabat saya ini bercerita, saya selalu PATAHKAN tanpa tedeng aling-aling: SAYA TIDAK PERCAYA KATA-KATAMU, SAYA LEBIH PERCAYA ORTU SAYA DAN SAYA LEBIH TAHU ISI HATI MEREKA DARIPADA KAMU. Ini dilakukan beberapa kali, dan saya selalu menegaskan dan mengulang kata-kata ketidakpercayaan yang sama ini dengan nada menghentak. Sahabat saya akan mendongak dan melihat kepada saya dengan tertegun: Maq, kok kamu gak percaya sih bahwa mereka begini, begitu? Straightly, saya berkata: SAYA TIDAK PERCAYA! Titik. Itu selalu mengakhiri perbincangan kami dengan hati yang tidak nyaman, tetapi saya menang di alam roh. Saya tidak pernah terpengaruh dengan gosipnya, biar pun dia orang dalam dan merasa tahu dan melihat.

1. Saya tidak percaya penglihatan orang negatif yang menyembur-nyemburkan sakit hati dan lelehan airmata – yang semuanya berasal dari ke-selfish-annya.
2. Saya tidak percaya dari keteguhan hati saya bahwa orang tua saya tidak akan pernah melakukan hal keji itu.
3. Penghakiman/penilaian sahabat saya yang adalah ‘orang dalam’ yang hanya melihat/mendengar sekilas, tidak dapat mewakili keseluruhan dari big picture atau kisah akurat dari orang tua angkat saya.
4. Saya tidak “berusaha menutupi kesalahan ortu saya,” tetapi saya sudah memiliki belief system bahwa ortu saya tidak mungkin senaif yang dikatakan sahabat saya.

 

Saya bisa membuat beberapa daftar ke bawah lagi untuk memberikan argumen ketidakpercayaan saya terhadap isu, gosip, pengkhianatan, penghakiman, ketidakbenaran sahabat saya terhadap ortu angkat saya. Tetapi saya juga ingin memberikan pelajaran kepada Saudara pembaca kekasih, bahwa Saudara juga harus BERDIRI terhadap KETIDAKBENARAN dan GOSIP, JUDGMENT dari orang lain terhadap orang tua/ortu angkat, wakil kekuasaan, bos, pimpinan Saudara. Saudara tidak bisa hanya diam saja jika tidak setuju, sebab diam berarti ikut dalam permufakatan ketidakbenaran. Sikap abstain sangatlah merugikan orang banyak dan dirinya sendiri.

Saya jadi ingat peristiwa penangkapan Yesus Tuhan kita; murid-murid semua mengasihi-Nya, tapi semuanya menyelamatkan nyawanya, tidak ada seorang pun yang berdiri bagi Dia saat Sang Guru membutuhkannya. Mereka semua baik, semua murid, tapi saat Sang Guru butuh seorang murid untuk berdiri bagi-Nya, mereka memilih zona aman. Saya ingin membuka mata rohani para murid, yang mungkin sudah baik, tapi jika hanya nampak baik saja seperti para murid Yesus ini, itu tidak baik. Murid yang baik akan berdiri bagi gurunya, akan membela sekali pun ia menimba lawan.

Satu kali peristiwa, ortu angkat saya yang lain berbuat kesalahan terhadap saya, demikian juga seorang hamba Tuhan lain melakukan kesalahan terhadap saya. Sampai sekarang saya tidak pernah mengungkapkannya kepada siapa pun di bumi, sekalipun beliau telah tiada, dan yang satunya masih hidup – tidak ada seorang pun di bumi yang kepadanya pernah saya ceritakan atau sekedar sharing akan kesalahan mereka terhadap saya. Saya juga ingin berpikir bahwa itu bukan kesalahan, tetapi sekedar kekhilafan, like ‘bad hair day’ saja. Itu bukan sifatnya, karena saya tahu bahwa dari sekian juta kebaikannya, jika ada satu kekhilafan seperti itu, itu tampak seperti kutu di seberang benua. Mungkin ini yang dimaksud Nuh ketika ia tidak mengutuk kedua anaknya, karena mereka mengetahui mabuk dan telanjang bukanlah perangai asli ayahnya.

Saya menekan diri, menekan hati – mereka orang tua rohani, orang tua angkat, sesama hamba Tuhan, – saya tidak akan pernah menaruh kuk apa pun dan kepada siapa pun di bumi terhadap mereka. Jika ini adalah UJIAN SAYA untuk tidak selfish dan menyalahkan mereka sebagai orang tua, terpujilah Tuhan karena saya diberi kemampuan dan karunia untuk menang selama bertahun-tahun menguburkan peristiwa yang tidak berarti itu. Sekali pun daging saya kalau ada kesempatan pernah ingin menceritakannya, tetapi itu tidak pernah terlontar dari mulut saya — sebab jika dipikir dalam-dalam, apalah artinya satu-dua kesalahan dibanding dengan samudera kasih yang luas yang telah mereka curahkan yang telah saya terima? Toch mereka manusia, saya memberi ruang bagi mereka untuk berbuat salah, karena saya juga orang yang bersalah dan sudah diampuni seluas-luasnya.

Saya menjaga penghormatan saya terhadap otoritas-otoritas di atas saya. Walaupun belum sempurna dan pernah juga tersandung, tetapi sedemikianlah hormat saya kepada mereka, pembelaan saya yang murni dari hati saya, meskipun harus berlawanan dengan sahabat saya, dengan kedagingan saya – tetapi saya memelihara roh saya dan roh orang lain agar tidak tercemar dengan tuduhan dan kecaman yang mungkin saya salah menerjemahkannya. Saya selalu ingat kutukan Nuh terhadap anaknya yang membuka aib orang tuanya yang hanya sekali khilaf, tetapi keturunan demi keturunan menuai dampak yang tiada habisnya dari kebocoran mulut yang meluap dari hati. Pastilah di dalam hatinya sudah ada akar kepahitan, ketidakpercayaan, kebencian, sehingga satu kekhilafan orang tua disebarluaskan.

Kiranya ini menolong para pembaca yang memiliki akar pemberontakan dalam hati. Bereskan dengan mereka langsung, seperti sahabat-sahabat Ayub hanya dapat diampuni saat mereka meminta pengampunan dan didoakan oleh Ayub yang dikata-katainya. Itulah kerendahan hati.