Case Iman 1
Selvi: Mi, kapan potong rambut saya?
Maq: Kamu ke salon aja
S: Dipotong Ami dong,…
M: Saya motong rambutnya Joy aja miring-miring
S: Tak apalah
M: Enggak ah!

Beberapa hari dia merengek dan saya tetap bilang tidak. Dia khan asalnya orang salonan, high styler, sekali potong dan keriting 2 jutaan. Kok sekarang jadi degradasi gitu…

Suatu hari kami melakukan perjalanan ke Jakarta, dan daripada dia nunggu saya meeting lama, saya suruh dia ke Hakamimoshi atau apa itu yang biasanya dulu para staff suka ke sana, karena ada diskon bagus sampai 60%. Dia bilang tidak mau juga.
M: Vi, nanti kamu ke salon gih…
S: Dipotong Ami aja (sambil nyetir gak liatin saya, kurang ajar)
M: Saya gak mau yah,…
S: Kalo gitu saya gak akan ke salon. Biar juga sampai rambut saya gimbal!

salon-kingdom01Kurang ajar betul ini anak! batin saya,… ngomong gak pake aturan, dan menyerahkan urusan rambut kepada saya sang pengkhotbah! Perjalanan pulang saya merenung, ini anak kok sebegitu percayanya sama saya, dia khan rambutnya pendek, sedangkan saya rambut panjang, potong sendiri plus diikal-ikal kalo miring-miring juga gak keliatan.

Beberapa hari kemudian saya turun dari ‘singgasana’ bawa gunting rambut dan salon-kingdom02sisir stainless steel milik Joy sama kain batik sebagai penutup badan. Maka duduklah Selvi di depan saya, dan saya mulai menggunting rambutnya, plus mengeriting dengan semua peralatan lengkap yang sudah ada.

Saya berpikir jika kita-kita yang mempercayai Firman sungguh-sungguh menyerahkan hidup dan pertolongan kita kepada Tuhan secara total, tanpa melirik ke ‘salon’ dan membiarkan ‘rambut’ kita ‘gimbal’ apakah Tuhan gak akan turun tangan dan tidak berlambat-lambat menolong?

Case Iman 2
Suatu hari saya jalan ke pasar, ada beberapa kios jualan makanan enak-enak, dan salah satunya ada ayam goreng keliatan nyus banget, ayam kampung. Juga ada rempeyek/pergedel udang. Saya beli beberapa dan dibawa pulang. saya agak jarang hari-hari dan tahun-tahun belakangan makan ayam – mungkin 3 bulan baru satu potong. Sedangkan Joy hari-hari ada ayam, hati, B2, dll. Saat saya makan, Joy duduk di depan saya ngarep banged. ami-dan-joy
M: Joy, Ami khan jarang makan ayam. Kau duduklah di situ jadi penonton dan turut bersukacitalah saja.
J:…. (matanya masih tetap tidak dialihkan dan tidak berkedip sepeser pun)
M: Joy! Kamu tega ya, ayam kampung khan dagingnya gak banyak, kalo saya bagi sama kamu, saya cuman makan daun pepaya yang pahit ini dengan sambel thok dong…
J: Berkedip, lalu kakinya dinaikkan ke pangkuan saya.
M: Wah,.. kamu deh… tega ya. (Saya akhirnya gak tega, dan mencabik beberapa kali dan memberikan kepadanya)

Lukas 11:5-8
Lalu kata-Nya kepada mereka: “Jika seorang di antara kamu pada tengah malam pergi ke rumah seorang sahabatnya dan berkata kepadanya: Saudara, pinjamkanlah kepadaku tiga roti,
sebab seorang sahabatku yang sedang berada dalam perjalanan singgah ke rumahku dan aku tidak mempunyai apa-apa untuk dihidangkan kepadanya;
masakan ia yang di dalam rumah itu akan menjawab: Jangan mengganggu aku, pintu sudah tertutup dan aku serta anak-anakku sudah tidur; aku tidak dapat bangun dan memberikannya kepada saudara.
Aku berkata kepadamu: Sekalipun ia tidak mau bangun dan memberikannya kepadanya karena orang itu adalah sahabatnya, namun karena sikapnya yang tidak malu itu, ia akan bangun juga dan memberikan kepadanya apa yang diperlukannya.


Dari sisi saya seorang ibu, bersalutkan daging, yang masih bisa berpikiran egois karena lama tidak makan ayam pun, saya tidak tega membiarkan Joy tidak makan dengan saya. Kenapa? Karena Joy persistent; karena Selvi juga tidak memikirkan alternatif lain selain dipotong oleh saya. Seandainya kita punya iman yang ‘menjengkelkan’ Tuhan, tentunya Tuhan senang melihat kejarangan iman seperti ini.

Matius 15:26-28
Tetapi Yesus menjawab: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.”
Kata perempuan itu: “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.”
Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki.” Dan seketika itu juga anaknya sembuh.

Ini juga menceritakan tentang iman yang menjengkelkan murid-murid Yesus, para rasul, yang pada saat itu belum tahu segi iman yang ngeyel seperti ini. Dibutuhkan iman yang kuat, hati yang tahan kata, tidak tahu malu, teriak-teriak, diperlakukan seperti ‘anjing’ tapi tetap tamblek! Ini mengagumkan Tuhan. Saya juga kagum dengan ‘iman’ Selvi, walaupun setelah itu tidak terjadi lagi kesamaan iman seperti ini (dan aneh juga jika ada pengulangan cara dan peniruan yang dipaksakan), dan dia bisa ke salon, karena tidaklah mungkin dengan kisah ini semua orang membuat rambutnya gimbal karena menanti saya yang gunting.

Ini hanyalah contoh bagaimana kita melihat segi persistency. Karena kebanyakan saat menghadapi pertolongan Tuhan, jika kita pikir waktunya sudah mepet, kita kelabakan cari pertolongan (salon lain) untuk menutup kebutuhan, membayar hutang. Kita bergantung kepada manusia dan cara-cara kita sendiri karena masih ada orang-orang yang kita andalkan. Ah, seandainya kita tutup mata terhadap manusia dan hanya bilang kepada Tuhan seperti Selvi bilang ke saya: biar sampai gimbal juga saya tak akan ke salon! Maka, Tuhan mana yang tega membiarkan kita ‘gimbal?’

‘Bergimballah’ kepada Tuhan, tuntutlah dan percayailah bahwa jika Dia tidak menolong, you’ll go gimbal! Mana ada Tuhan yang tega melihat anak-anak-Nya gimbal-gambul?

PS: Beberapa saat lainnya Selvi ke salon, karena dia juga tahu tidak bisa selalu mengharapkan salon Kingdom untuknya setiap 2 bulan sekali. Ada juga yang saya sendiri tergerak memangkas, tapi kebanyakan saya tidak melakukannya, karena saya hanyalah tukang cukur amatir, saya minta lainnya lebih percaya kepada salon daripada pendeta.

salon-kingdom03(Foto: Saya buka salon Kingdom dadakan di Amman, Jordan dalam perjalanan kembali dari Perjalanan Israel. Ini hanya dikarenakan saya gemes liat rambutnya yang menurut saya anu. Jadilah open salon di bandara dengan alat minim. Peserta dari Palu, seorang murid dan alumni IDTC yang saya kasihi)

Saya memang beranjak dari keluarga sederhana; papi saya memangkas rambutnya sendiri seumur hidup, dan dia pangkas rambut anak-anaknya pria, dan kami saling memangkas rambut di antara kami. Jadi saya juga terbiasa potong rambut cowok-cowok di rumah dengan pengetahuan sederhana yang saya peroleh dari ayah saya. Lalu di Korea saya bawa gunting potong saya karena saya juga potong rambut sendiri. Melihat teman-teman pria saya yang dari berbagai bangsa yang tidak bisa ke salon karena keuangan, akhirnya saya menawarkan diri untuk melayani mereka dengan apa yang bisa saya lakukan, yaitu memotong rambut mereka seadanya, asal gak gondrong aja mereka, kasihan. Baik dari Kenya, Nigeria, Filipina, Indonesia, Nepal, India, dll antri beberapa saat sekali di lapangan terbuka. Sampai sekarang saya masih terus bereksperimen memangkas rambut sendiri… (makanya modelnya gak berubah-ubah selama puluhan tahun!). Well, entahlah, saya hanya tidak punya waktu untuk ke salon dan mengeluarkan uang lebih untuk urusan yang saya pikir bisa ditanggulangi sendiri. Sepertinya terakhir ke salon 3 tahun lalu… inginnya dipangkas bentuk berbeda, tapi ternyata sama aja. Jadi, wes… balik ke asal – gratis.