Persiapan pemenuhan visi prosesnya tidak seperti yang diharapkan pecinta buku seperti 7 langkah meraih kesuksesan: fight, never give up, persistent, … dan yang serupa itu. Saat saya mengajar di kelas, saya memulainya dengan menolong murid-murid like:
-dilarang ngeletekin bibir kering di tempat umum.
-Hindari pakai pakaian minim dan tidak sopan.
-Bagi yang cerewet, berpuasalah bicara. Tahanlah hati/jaga hati untuk tidak pasang status krisis – foto-foto narsis, too much self-love hanya mau ditunjuk-tunjukin ke orang bahwa ini lho saya, saya yang nampak keren, saya yang sedang berdiri di mimbar, saya yang nampak cool;
-juga menjelaskan arti status “sihir” seperti menyindir, menulis quote atau ayat untuk nyindir orang tertentu.
-Menyadarkan bahwa kebanyakan nonton TV adalah cara tidak menghargai waktu Tuhan dan pembuangan kesempatan yang Tuhan beri dalam memenuhi visi dan panggilan.
-Juga memberi pengertian bahwa mengikuti berita politik secara berkepanjangan dan terus menerus merupakan ketidakpenghargaan terhadap manusia roh karena lebih mementingkan politik yang kecenderungannya ke arah ‘jiwa’ daripada makanan rohnya (karena nyatanya ada murid yang kalau baca Alkitab katanya gak punya waktu tapi kalau soal politik nambe wan dari kolom ke kolom, lembar ke lembar, dari berita ke berita, dari kisah ke kisah, youtube ke youtube lainnya! Ridiculous dan slavery!

Jelaslah sebagai hamba Tuhan saya harus menolong memotong pertumbuhan jasmani yang “tidak terlalu” berguna (jika pembaca ingin saya a g a k – l e m b u t menuliskannya, rather than yang sebenarnya “sesungguhnya hampir tidak ada gunanya sama sekali”). Wah, kebangeten deh, masa mengikuti berita politik gak berguna, ini sesat. Kita khan hidup di Indonesia, kita harus tahu perkembangan politik, harus peduli dengan masyarakat. Well, saya ingin perjelas di sini:
-Seberapa bergunakah berita politik bagi pertumbuhan rohani Saudara? Apakah Saudara dipanggil Tuhan jadi gubernur atau presiden atau menteri dalam negeri?
-Seberapa berguna berita politik itu bagi kemajuan dan kecepatan pencapaian visi Saudara?
-Kalau sebegitu-bergunanya, cobalah bandingkan dengan hal kerohanian sebagai penunjang pencapaian visi Saudara, apakah pembacaan Firman dan doa untuk mereka-mereka yang Saudara ikuti setiap hari berjam-jam lebih banyak daripada mengikuti berita politiknya?
-Apakah “kepedulianmu” terhadap salah satu atau tiga orang tersebut, sedemikian ada waktu yang lebih banyak untuk mendoakan mereka? Kalau ya, saya ingin baca barisan doanya, apakah semenggebu bacanya atau nontonnya, atau ngeyoutubenya. (Seperti Rasul Paulus waktu berbicara mengenai bahasa roh, saya juga tidak ikutin perkembangan politik dari baca/nonton, tapi saya mungkin lebih banyak doa, puasa, peduli kepada bangsaku daripada yang banyak nonton dan baca)
-Gongnya: Apakah Saudara menyadari bahwa membawa berita kemarahan masyarakat, perkelahian, argumen, sakit hati, perdebatan yang tidak berujung di dalam rumahmu, dalam hatimu, lewat matamu, lewat telingamu – tidak menyehatkan rohanimu? Apakah Saudara tidak menyadari bahwa musuh masuk lewat mata, lewat pendengaran, ke dalam hati? Dan jika hari-hari, panca indera Saudara yang seharusnya dilatih makin dewasa secara rohani malah digunakan untuk yang jasmani, apakah akan menolong Saudara menggenapi panggilan Tuhan dalam hidupmu? Really? Secepat apa?
-Jika waktu sudah banyak terbuang dan visi semakin jauh, bagaimana Saudara bertanggung jawab kepada Dia Sang Pemberi semua komoditas rohani itu?

Rick Joyner berbicara mengenai THE EYE GATE dalam bukunya “The Prophetic Ministry.” One of his good old-fashioned fatherly advices, dia bilang begini: Kita bisa membiarkan terang atau gelap yang memasuki jiwa kita. Tapi jika kita mau memfungsikan mata kita untuk kepentingan tubuh Kristus, maka kita harus belajar memberikan penglihatan kita kepada-Nya, digunakan untuk tujuan-tujuan-Nya saja. Kita tidak boleh membiarkan kegelapan masuk dalam jiwa kita lewat apa yang kita lihat.

Berita yang njual pastilah yang mengguncang emosi rakyat – dan berita yang Saudara ikuti bukanlah berita “baik-baik” tapi pertarungan, celotehan, twitter, penyeretan orang ke pengadilan, gugatan, perceraian, pembantaian. Karena memang berita sudah kadung diarahkan ke hal-hal negatif seperti itu, sebab berita baik-baik tidak laku. Ini semua memompa adrenalin Saudara untuk ikut emosi, ikut melawan dalam perbincangan, ikut ngomporin, sepakat sama orang-orang yang ada di pihak Saudara tapi jadi benci sama mereka yang gak di pihak Saudara. Padahal all in all, jebul-jebule Saudara gak dapet apapa dari argumen bodoh itu, gak juga bisa membela orang kuatmu itu secara riil, selain emosinya jadi mencuat gak keruan, trus maagnya kambuh, sariawan dimana-mana, leher tegang, kepala puyeng, tidur bangun-bangun, tekanan darah naik. So foolish! Pembodohan dan perbudakan media! I am serious about this. Jika seorang tahu punya panggilan Tuhan dalam hidupnya tetapi masih saja keseret oleh hal-hal dunia, itu namanya diperbudak oleh dunia, oleh media.

Firman Tuhan berkata agar kita tenang supaya dapat berdoa. Tapi, kalau sudah membaca dan ngikutin banyak berita dan percakapan emosi banyak partai dan masyarakat atau orang-orang tertentu, apakah hati Saudara bisa tenang? Apakah SESUNGGUHNYA BISA BERDOA? I doubt so! Rekan-rekan dalam tim pelayanan kami hanya mendengar sedikit berita dari keluarga atau email atau status, lalu kami membawanya dalam doa-puasa kami. Kami bukan tidak peduli dengan berita, tetapi kami meminimalisir berita, hanya judul-judulnya saja untuk tahu apa yang harus didoakan. Bukankah dari judul saja biasanya kita bisa mengerti isinya? Tetapi dengan membaca keseluruhan jalan cerita, kita terpancing membuka berita lainnya, membuka judul lainnya, dan akhirnya habislah waktu kita dan kita termakan emosi. Bukan itu saja, tetapi soal EYE GATE dan EAR GATE, HEART GATE tadi sangat tercemar.

Salah seorang murid kami, dulunya hidup liar di ‘luar’ dengan banyak godaan; akhirnya dia mempercayai kami, dan waktu saya tarik untuk ‘menyelamatkannya dari dunia,’ dia memberikan diri kepada kami. Singkat cerita, seperti biasanya ceritanya tidak terlalu singkat karena prosesnya lama, dia harus belajar diam di kaki Tuhan, no TV, no entertainment, no tab (karena dia terikat dengan hal-hal bau yang ada di dalamnya, medsos, pornografi, hubungan-hubungan terlarang, dsb). Setelah beberapa bulan dididik menjadi murid secara intensif, suatu kali ketika ditanya, bagaimana hidupmu sekarang? Jawabnya menakjubkan: “Saya hidup lebih tenang, selama ini di luar sana saya nampak banyak duit, banyak temen, ‘bebas’, bisa ini-itu, tetapi saya justru banyak cape, sering sakit, banyak keluhan, tidak damai, dsb dsb…tapi di sini saya jarang/hampir tidak pernah sakit, bahkan saat saya harus bantu kerja keras dan angkat-angkat banyak barang berhari-hari, saya malah gak sakit sama sekali. Saya juga gak pernah merasakan damai sejahtera yang seperti ini di luaran sana.”

Rupanya persiapan pemenuhan visi dilakukan lewat hal-hal yang nampaknya menurut banyak orang: kecil dan tak seperti itu jalannya. Kalau saya mempelajari nabi-nabi dan orang-orang yang dipakai Tuhan, mereka menyendiri, berdiam diri, menjauhkan diri, bersemedi, menyisihkan diri, sendiri, dan hidup dalam apa yang ukuran normal katakan sebagai kebosanan dan abnormal. Yohanes Pembaptis mempersiapkan diri di padang gurun dan makanannya aneh sampai waktunya Tuhan mengeksposnya. Hidupnya hanya untuk satu tujuan itu. Tentunya kita-kita tidak ada yang dipanggil menjadi Yohanes, tidak harus makan belalang, tidak harus berpakaian nyentrik – sebab Tuhan Yesus pun juga tidak. Itu sangat ekstrim, tapi apakah Saudara pernah diam, berpuasa dan bertanya kepada Tuhan, apakah Saudara dipanggil untuk menjadi orang ekstrim? Menjadi nabi?

Seorang anak pendeta mengatakan kepada saya bahwa dia dipanggil di marketplace. Pertanyaan saya: Apakah kamu pernah nanya Tuhan beneran apa yang diinginkan-Nya? Ataukah karena kamu tidak sungguh-sungguh cari wajah Tuhan, sehingga karena panggilan itu ekstrim, maka kamu cari jalan amannya dan berbelok ke market place? Saya tidak bilang bahwa marketplace is jalan belok, tapi saya menantangnya untuk membangunkannya jika saat itu dia memang sedang pulas. Karena saya juga pernah beberapa gelintir kali berdiri di tikungan yang sama, tapi karena saya sudah melawan arus jalan lebar, maka saat diperhadapkan dengan jalan lebar lainnya, saya sudah tahu pilihan saya bukan itu. Tapi, karena saya sudah di sini, maka mudah untuk orang meremehkan keputusan saya yang sulit (jika dihitung dengan cara pikir dunia) yang akhirnya bagi saya mudah (karena saya sudah menyerahkannya kepada Kristus, sehingga yang mempermudah bukan saya tapi Dia).

Trus gimana donk kalau saya udah di marketplace? No problem, di sana pun berjalan dalam pimpinan Roh, maka jika diharuskan menyerahkan nyawa, jangan kompromi. Daniel, Sadrakh, dan teman-temannya juga ada di sana, tapi mereka hidupnya khusus, mengkhususkan diri. Mereka tidak kompromi, mereka berpuasa…Aha! Puasa! Yes! Orang-orang marketplace khan banyak alasan kalo udah sampai di hal ini. Nah, mereka yang “dipanggil” di MP, hidupya fokus sama Tuhan, persis sama dengan yang di bidang rohani, hanya saja pekerjaannya saja yang MP, tapi hati dan pergerakannya seluruhnya ke Tuhan tok. Mereka yang dengan paksa dan karena keadaan harus di MP, dan berdiri dengan iman yang nyata tanpa menyangkali Tuhannya dan Kekristenannya, mereka menjadi terang. Menjadi terang. OK, sekarang pertanyaan kedua, apakah jika sudah sekian tahun Saudara merasa dipanggil di MP sudah menjadi terang yang benderang? Kalau cuman secuil, Saudara belum memenuhi panggilan itu. Sekarang, usahakan bagaimana caranya untuk menjadi OBOR, LED besar, yang sekali orang noleh langsung tahu ada sesuatu yang berbeda dari bisnismen yang satu ini. Berada di dekat Saudara langsung terangnya gak bisa disembunyikan.

Jika hidup adalah untuk suatu tujuan, hidup adalah untuk suatu misi, maka waktu adalah komoditas yang paling penting. Jika kita menyia-nyiakan waktu untuk hari-hari dibuang dengan pola yang sama, maka kita kalah dengan dunia dan kalah dengan kuasa kegelapan. Lama-lama jadi gelap sama dengan dunia; misi menjadi terang tidak tercapai, visi untuk menjalankan satu tujuan itu kandas. Jika kita menyadari ini dan betapa pentingnya pengejaran untuk pemenuhan visi, maka orang bijak akan mulai duduk dan merancangkan suatu strategi untuk perubahan hidup bagi satu tujuan Tuhan dalam hidupnya itu.

Doa saya, agar Saudara pembaca mengatur hidup ulang, membuat goal, membereskan yang tidak berguna, memprioritaskan Tuhan dan panggilan-Nya dalam hidupnya. Kekang keinginan dunia dan yang tidak berguna, dahulukan Kerajaan Sorga dan Kebenarannya. Maka saat Saudara bertemu dengan Dia Sang Pemberi Hidup, Saudara dapat mempertanggungjawabkan seluruh waktu dan hidup dengan tidak gentar.